Pernahkah Sobat mendengar tentang Kue Delapan Jam? Nama salah satu Cemilan Khas Lebaran dari Sabang sampai Merauke yang unik ini bukan sekadar penamaan semata, melainkan mencerminkan proses pembuatan sekaligus nilai filosofi mendalam yang terkandung dalam salah satu kue tradisional khas Palembang, Sumatra Selatan.

Di balik kelezatan dan teksturnya yang legit, tersimpan sejarah dan makna budaya yang patut kita gali bersama. Yuk, kita telusuri lebih jauh bagaimana kue ini bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang kearifan lokal masyarakat Palembang!

Asal-Usul Kue Delapan Jam

Sesuai namanya, Kue Delapan Jam adalah kue tradisional yang membutuhkan waktu pemanggangan selama delapan jam penuh. Konon, kue ini pertama kali dikenal pada masa Kesultanan Palembang, dan awalnya hanya disajikan untuk kalangan bangsawan atau tamu kehormatan. Karena proses pembuatannya yang lama dan penuh kesabaran, kue ini menjadi simbol kemewahan, ketekunan, serta penghormatan terhadap tamu atau momen istimewa.

Hingga kini, kue ini masih sering dihadirkan dalam acara penting seperti pernikahan, hajatan keluarga besar, hingga perayaan adat tertentu. Tak heran, kue ini disebut juga sebagai kue kebesaran masyarakat Palembang.

Komposisi Bahan yang Kaya Rasa

Sobat pasti penasaran, apa saja sih bahan yang digunakan dalam membuat kue ini?

Secara umum, Kue Delapan Jam terbuat dari campuran:

  • Telur dalam jumlah banyak (bisa hingga 30 butir),
  • Gula pasir,
  • Susu kental manis,
  • Mentega,
  • Vanili,
  • Kadang juga ditambahkan kayu manis atau cengkeh sebagai penambah aroma.

Semua bahan tersebut diaduk hingga merata, lalu dimasukkan ke dalam loyang dan dikukus atau dipanggang dengan metode khusus selama delapan jam. Hasil akhirnya adalah kue yang bertekstur lembut, legit, agak padat, dan berwarna kecoklatan dengan rasa manis yang khas.

Filosofi di Balik Angka Delapan

Sobat mungkin bertanya-tanya, mengapa harus delapan jam? Apakah hanya karena teknik memasak semata?Ternyata, angka delapan dalam Kue Delapan Jam tidak hanya menggambarkan durasi memasak. Dalam tradisi dan budaya Palembang, angka ini menyimpan filosofi tersendiri. Berikut beberapa makna yang melekat pada angka delapan tersebut:

1. Simbol Kesabaran dan Ketekunan

Delapan jam bukan waktu yang singkat untuk membuat satu jenis kue. Proses ini melatih kesabaran, ketekunan, serta ketelitian, yang mencerminkan karakter orang Palembang yang menghargai usaha dan kerja keras dalam menciptakan sesuatu yang istimewa.

2. Lambang Keabadian dan Keberkahan

Dalam banyak budaya, termasuk di Tionghoa yang juga mempengaruhi budaya Palembang, angka delapan (8) dianggap sebagai simbol keberuntungan dan keabadian karena bentuknya yang tak terputus. Ini sejalan dengan harapan agar acara atau hubungan yang dirayakan dengan kue ini berlangsung langgeng dan penuh berkah.

3. Bentuk Penghormatan

Karena pembuatannya tidak mudah, menyajikan Kue Delapan Jam kepada tamu menjadi bentuk penghormatan tertinggi. Ini menunjukkan bahwa tuan rumah rela meluangkan waktu dan tenaga demi menyambut tamu dengan sebaik-baiknya.

Kue Tradisional yang Terus Bertahan

Meskipun zaman telah bergeser dan banyak makanan modern bermunculan, Kue Delapan Jam tetap eksis dan bahkan semakin populer, baik di dalam maupun luar Palembang. Beberapa toko oleh-oleh khas Palembang bahkan menjual versi modern dari kue ini dengan berbagai variasi rasa dan ukuran.

Namun, Sobat perlu tahu, tidak semua versi modern tetap menjaga proses delapan jam tersebut. Beberapa hanya memakai nama “Kue Delapan Jam” namun dimasak dalam waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu, jika Sobat ingin merasakan keaslian cita rasa dan makna filosofinya, sebaiknya pilih yang masih mengikuti metode tradisional.

Pelajaran dari Kue Delapan Jam

Lebih dari sekadar makanan, Kue Delapan Jam mengajarkan kita nilai-nilai kehidupan yang patut kita teladani:

  • Menghargai Proses: Di tengah dunia serba cepat saat ini, kue ini mengingatkan kita bahwa hasil terbaik memerlukan waktu dan usaha.
  • Menjaga Tradisi: Melestarikan kuliner seperti Kue Delapan Jam berarti menjaga identitas budaya lokal agar tidak luntur oleh arus globalisasi.
  • Berbagi dengan Tulus: Menyajikan kue ini untuk orang lain berarti berbagi dengan sepenuh hati dan menunjukkan penghargaan yang tulus.

Sobat, Kue Delapan Jam bukan sekadar penganan manis dari Palembang. Ia adalah simbol budaya, penghormatan, dan pelajaran hidup yang dikemas dalam balutan rasa legit dan aroma harum. Saat menyantapnya, kita tak hanya menikmati kekayaan rasa, tetapi juga meresapi nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Jadi, kalau Sobat suatu saat berkunjung ke Palembang, jangan lupa untuk mencicipi sekaligus membawa pulang Kue Delapan Jam. Selain memanjakan lidah, kue ini juga akan memperkaya pengalaman budaya Sobat. Selamat menikmati warisan kuliner Indonesia, ya!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan